Bagian 1
Sebagai kota dengan julukan kota kembang atau Parijs Van Java, kota wisata alam, surga kuliner, tujuan melancong, dan target belanja turis lokal maupun asing, pertumbuhan industri kreatif semakin semarak dari tahun ke tahun Ibu Kota Jawa Barat itu.
Tumbuh dan berkembangnya kota ini begitu juga dengan warga yang menetap atau lahir dan besar di Bandung masih sedikit yang mengetahui keberadaan bioskop pertama pemutar film bisu hitam putih perdana bangsa Indonesia dan selamat dari lautan api para pejuang pada masa revolusi fisik kala itu. Sekedar menyegarkan kembali pelajaran sejarah yang mungkin sedikit terlupakan, punjuga sebagai pengingat muda-mudi masa kini akan adanya sebuah cerita tentang bioskop yang satu abad lalu pernah menjadi primadona dan daya pikat kawasan Braga ketika daerah tersebut masih menjadi aktifitas utama para elit dan bangsawan asing di tatar pasundan.
Bioskop Majestic begitulah sebutannya, bergaya art deco yang konon gaya bangunan ini menjadi tren di era tahun 1920 itu dahulu lebih dikenal sebagai kaleng biskuit.
Lokasi bioskop Majestic sendiri berada di Jl Braga, Bandung. Dulunya juga dikenal dengan kawasan bergengsi bagi para meneer Belanda pemilik perkebunan bernama Bragaweg. Konon, bioskop ini didirikan untuk memuaskan hasrat para meneer VOC yang haus akan sarana hiburan usai berbelanja ria.
Film yang ditayangkan di bioskop hanya berupa gambar bergerak tanpa ada suara sama sekali. Biasanya pemutaran film di bioskop ini dimulai pukul 19.30 WIB dan 21.00 WIB. Sebelum film diputar, para penonton dijamu dengan sebuah orkes musik mini di pelataran bioskop Majestic dengan lantunan lagu-lagu gembira untuk menarik perhatian.
Pada gala perdananya, 31 Desember 1926 di Bandung, film berdurasi 6o menit ‘Loetoeng Kasaroeng ditayangkan di dua bioskop yakni Elita dan Majestic. Gedung bioskop Elita saat ini sudah tidak ada, sementara yang tersisa adalah Gedung Majestic yang beralih nama menjadi The New Majestic. Masih berdiri kokoh menantang gerusan urbanisasi di kota Bandung yang semakin modern hampir selama satu abad, menjadi warisan cagar budaya nasional, ikon kawasan Braga dan kebanggaan warga Bandung.
Sebagai bagian dari tonggak sejarah geliat awal industri perfilman nasional, Loetoeng Kaasaroeng memiliki peran penting, meski dibesut oleh dua orang asal Belanda dan Indo-Belanda asal Bandung, yakni G Krugers dan L Heuveldorp. Meski begitu, film ini sepenuhnya disponsori Bupati Bandung yang sangat mencintai budaya kearifan lokal, R.A.A Wiranatakusumah V dan diperankan seluruh pemainnya oleh aktor dan aktris pribumi, warga lokal serta anak-anak dari Daleman Haji – sapaan akrab beliau ikut turut serta menjadi cameo dalam film tersebut.
Film ini mengambil latar belakang legenda rakyat bumi pasundan yang sering diceritakan dalam lakon seni pantun Sunda dan seni peran kerakyatan masyrakat kala itu.
Dirilis tahun 1926 oleh NV Java Film Company, Loetoeng Kasaroeng tercatat sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia.
Pemutarannya mendapat antusias tinggi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) dan Netherland kala itu, sehingga selama sepekan ditayangkan mulai dari 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 berlangsung sukses. Salah satu bioskop yang menayangkan film Loeteong Kasaroeng adalah Majestic, dulu masih bernama Bioscoop Concordia karena letaknya bersebelahan dengan Societeit Concordia yang kini menjadi Gedung Merdeka..
Majestic memang diperuntukkan sebagai primadona pelengkap kawasan Braga sebagai pusat aktifitas kaum elit Eropa menghabiskan gulden demi gulden pada pertengahan 1920-an. Kota Bandung disematkan nama Parijs Van Java yang melekat hingga kini. Meski memang banyak yang berubah.
Kembali ke Majestic, di awal pendiriannya ada hal unik yang selalu terjadi dalam pemutaran film-film saat itu. Pihak bioskop sengaja menyediakan orkes mini juga seorang komentator yang bertugas mengiringi film-film bisu yang ditayangkan. Menjelang film akan diputar, orkes mini ini pindah ke dalam bioskop untuk berfungsi sebagai musik latar dari film yang dimainkan. Maklum saja pada pertengahan tahun 1920-an itu film masih merupakan film bisu.
Tahap promosi film pun tak kalah menarik. Biasanya dilakukan dengan menggunakan kereta kuda sebagai alat trasnportasi utama, berkeliling kota sambil mengusung poster film dan membagi-bagikan seleberan atau pamflet.
Bioskop Majestic pada masa keemasannya, hanya memiliki tempat duduk di dalam bioskop yang dibentuk berundak. Perbedaan kelas yang masih dijunjung tinggi para bangsawan Eropa dalam hal ini Belanda, serta harga tiket menjadi alasan utama. Terdiri dari tiga kelas, kelas 1terletak di wilayah balkon, kelas 2 di bagian bawah belakang, dan kelas 3 di bagian terdepan. Menonton bioskop menjadi hal yang mewah dan hanya segelintir warga lokal yang dapat menikmatinya. Selain daripada aturan baku yang mewajibkan penonton berpakaian rapi, tempat duduk pun diatur sedemikian rupa agar penonton pria dan wanita terpisah dalam deretan yang berbeda. Namun pada kenyataannya, kerap kali peraturan ini dilanggar dan tidak selalu efektif.
Memiliki reputasi populer pada masanya, Majestic mengalami rentang masa jaya keemasan sampai paska kemerdekaan. Namun setelah itu, tepatnya di medio 1980-an, Mejastic meredup. Pesonanya semakin sirna dengan menjamurnya sinepleks atau bioskop modern, kejayaan bioskop yang merupakan bagian dari sejarah perfilman itu lambat laut mulai pudar.
Sayangnya kegemilangan Bioskop Majestic hanya bertahan hingga setelah masa kemerdekaan RI. Memasuki periode tahun 1980-an, kejayaan bioskop yang merupakan bagian dari sejarah perfilman itu lambat laut mulai pudar hingga saat ini.
Bersambung ke bagian 2.
Sumber tulisan :
https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/
Foto: Istimewa (Google Images)