Bakar Tongkang, Persembahan Dewa Laut, dan Nenek Moyang Orang Bagan

Bakar Tongkang, Persembahan Dewa Laut, dan Nenek Moyang Orang Bagan

5 Aug 2022   |   By Franco Londah   |   3087 Views

Coklatkita.com - Salah satu kota bersejarah di Provinsi Riau adalah Bagan Siapiapi dengan budaya ritual bakar tongkang yang setiap tahunnya dilakukan oleh masyarakat etnis Tionghoa. Ritual ini satu-satunya di dunia dan hanya ada wilayah tersebut dan menjadi perhelatan nasional serta menjadi wisata yang khas dari Kabupaten Rohil, Riau.

Bakar Tongkang adalah upacara yang dilakukan oleh masyarakat etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, Riau sejak 134 tahun silam. Perayaan yang juga dikenal dalam Bahasa Hokain sebagai Go Cap Lak ini berlangsung tiap tanggal lunar 16 bulan ke-5 kalender Cina(dihitung paska Imlek). Pembakaran tongkang menjadi simbol permulaan hidup baru bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi. Seperti para leluhur mereka yang membakar kapal tongkang mereka saat tiba di Bagansiapiapi dan memutuskan untuk menetap dan memulai hidup baru di kota tersebut. Delapan belas orang di kapal selamat. Secara kebetulan, mereka bermarga Ang. Keluarga besar Ang lantas membakar kapal yang ditunggangi dan berjanji tak bakal kembali ke kampung halamannya lantaran ingin menetap di tanah yang mereka pijak selepas lolos dari gulungan ombak. Sampai sekarang, mereka dipercaya menjadi nenek moyang warga Bagan.

Asal mula ritual bakar tongkang, berawal dari berangkatnya beberapa keluarga dari daratan China, Fujian untuk mencari tempat kehidupan yang baru. Pada saat itu beberapa keluarga ini merantau dengan mengunakan kapal kayu dan sampailah mereka disuatu tempat (Bagan) lalu mereka melihat adanya cahaya dan kemudian tanpa berfikir panjang, mereka langsung bergegas menuju asal cahaya tersebut yang ternyata adalah kumpulan kunang-kunang (binatang bercahaya saat malam hari) di atas tempat penampungan ikan (Bagan).

Masyarakat Tionghoa rohil mengangkat tongkang,Dari catatan yang ada, ritual itu bermula ketika 18 orang warga Tionghoa bermarga Ang menginjakkan kaki pertama kali di tanah Bagan pada 1826 Masehi. Masa itu, Bagan yang merupakan muara Sungai Rokan masih berupa rimba lebat tanpa penghuni. Ke-18 orang itu menggunakan tiga kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang. Konon, satu dari 18 orang itu adalah perempuan. Mereka orang Cina yang migrasi ke Desa Songkla di Thailand pada 1825 Masehi.

Masa migrasi di Thailand itu tidak berlangsung lama. Orang Cina pendatang dimusuhi penduduk asli hingga pecahlah kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, para imigran itu pun pergi. Alkisah, mereka berlayar menggunakan tiga kapal mencari daerah baru bagi kehidupan. Di tengah perjalanan, dua tongkang tenggelam, satu selamat berlabuh di Bagan. Sebelum tiba di Bagan, mereka berlabuh terlebih dahulu di Kerajaan Kubu. Namun, karena merasa kurang aman, akhirnya pindah ke daratan Bagan.

Nenek moyang warga Tionghoa Bagan mendarat di bumi penghasil ikan itu sekitar 1826 Masehi. Mereka hidup di muara Sungai Rokan dan menggantungkan nasib di laut. Kehidupan mereka berkembang dengan mendirikan bang liau (gudang penampungan ikan).

Setelah beberapa lama berada di tempat tersebut, para perantau asal China ini merasa bahwa tempat itu adalah tempat yang sangat nyaman bagi mereka tinggali.Sehingga para perantau membakar kapal mereka sebagai tradisi atau simbol tidak akan kembali serta sebagai bentuk sesajen atau ritual bagi dewa mereka yang telah memberikan tempat kehidupan baru.Delapan belas orang di kapal selamat. Secara kebetulan, mereka bermarga Ang. Keluarga besar Ang lantas membakar kapal yang ditunggangi dan berjanji tak bakal kembali ke kampung halamannya lantaran ingin menetap di tanah yang mereka pijak selepas lolos dari gulungan ombak. Sampai sekarang, mereka dipercaya menjadi nenek moyang warga Bagan.

Sebagian besar masyarakat Tionghoa di Bagansiapi-api percaya, malam itu, kapal tongkang akan didatangi Dewa Ki Hu Ong Ya (Dewa Laut). Ki Hu Ong Ya dipercaya sebagai Dewa Penyelamat yang telah memberi petunjuk kepada nenek moyang mereka yang sempat tersesat di laut. Petunjuk itu mengarah pada Bagansiapi-api yang mereka sebut sebagai tanah harapan. Ritual ini merupakan salah satu cara berterima kasih yang ditunjukkan warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi. Ritual itu sudah dilakukan beratus tahun, tetapi pelaksanaannya sempat tersendat pada era Orba.

Bakar Tongkang, saat ini tidak lagi menjadi milik masyarakat Tionghoa melainkan sudah menjadi milik masyarakat secara keseluruhan. Terlebih gelaran ini sudah ditetapkan sebagai kalender wisata di Riau. Dukungan penuh pun diberikan tidak saja oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) juga oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau.

Acara ini dipusatkan pada satu kelenteng tertua di Rohil. Namanya Kelenteng Eng Hok King, tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu. Kelenteng itu dianggap paling sakral karena merupakan satu-satunya bangunan yang selamat dan tetap utuh saat terjadi kerusuhan pembakaran massal pada 15 September 1998 silam.Menurut sejarahnya, klenteng tersebut merupakan yang tertua di Bagan—sebutan singkat Kota Bagansiapiapi. Di pintunya tertulis, klenteng dibangun pada tahun naga, yang diperkirakan menurut penanggalan Hijriah bertepatan pada era 1870-an.

Pada perayaan festival bakar tongkang pada bulan Juni 2019 lalu misalnya, terhitung sedikitnya 50.000 warga Tionghoa asal Kota Bagansiapiapi datang ke Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir di daerah pesisir Provinsi Riau. Kedatangan mereka untuk mengikuti tradisi ritual Bakar Tongkang.

Ritual ini merupakan tradisi turun-temurun bagi warga Tionghoa Bagansiapiapi untuk menghormati nenek moyang. Hal ini membuat puluhan ribu perantau yang kini tinggal di berbagai kota, baik di dalam dan luar negeri seperti pulang kampung, khusus untuk menghadiri Ritual Bakar Tongkang.

Proses ritual Bakar Tongkang biasanyadimulai pukul 14.00 WIB hingga sore. Biaya untuk pelaksanaannya mencapai Rp500 juta hingga Rp600 juta. Jumlah itu hanya untuk pembiayaan ritual saja, seperti membeli peralatan replika tongkang, peralatan sembahyang dan lain sebagainya.

Teriakan “huata” yang muncul dari mulut empunya wajah-wajah peranakan terdengar bak paduan suara, mendorong semangat dimulainya rangkaian ritual bakar tongkang dari tempat pembuatannya di samping kelenteng
Festival Bakar Tongkang diawali prosesi sembahyang di klenteng tertua di kawasan Pekong Besar, Ing Hok Kiong. Beberapa jam sebelumnya, para tang ki atau loya—manusia yang dipercaya punya kemampuan metafisis—beserta perwakilan masing-masing kelenteng, menggelar penghormatan kepada Dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun di Kelenteng Ing Hok Kiong.

Dari klenteng tersebut, para peserta Bakar Tongkang bergotong royong dengan bahu membahu secara bergantian mengeluarkan replika tongkang atau kapal yang sudah disiapkan sejak beberapa bulan lamanya.
Acara lalu dilanjutkan dengan pawai atau arak-arakan ke tempat pembakaran, penetapan posisi haluan tongkang sesuai petunjuk Dewa Kie Ong Ya atau Dewa Laut, sang dewa penyelamat yang telah memberi petunjuk kepada nenek moyang mereka yang sempat tersesat di laut. Replika Tongkang itu digotong secara bergantian, diikuti peserta ritual dan pengunjung yang hadir. Rute arak-arakan Bakar Tongkang dimulai dari jalan klenteng selanjutnya melewati Jalan Perniagaan sampai ke lokasi ritual Bakar TongkangSetelah kapal tongkang diletakkan di haluan yang sudah ditetapkan dan kertas-kertas sembahyang dipasang di lambung kapal, kapal lalu dibakar sampai tiang layarnya yang tinggi tumbang. Arah tumbangnya diyakini masyarakat setempat sebagai arah datangnya rezeki dari laut. Selama ritual berlangsung, klenteng-klenteng di Bagansiapiapi melakukan upacara pemanggilan roh. Beberapa warga setempat bahkan secara sukarela bersedia menjadi medium untuk dirasuki roh tersebut.

Ritual adat etnis Tionghoa di Kota Bagansiapiapi ini menarik minat wisatawan nusantara dan mancanegara. Terutama sejak upacara Bakar Tongkang ini masuk ke dalam sepuluh besar Top 10 Calendar of Event Wonderful Indonesia dan sudah dipromosikan ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan Cina dimana banyak perantauan asal etnis Tionghoa asal Bagansiapiapi berasal.

Sampai saat ini, ritual tersebut tetap mereka laksanakan sebagai mengenang nenek moyang mereka yang telah membawa mereka ke daerah ini (Bagansiapiapi). Setiap tahunya, ribuan masyarakat etnis Tionghoa berbondong-bondong mengikuti acara bakar tongkang. Tak heran, kegiatan ini disambut antusias oleh masyarakat Tionghoa, karena bagi mereka bisa memberikan suatu petunjuk bagi mereka soal mencari rezeki ke depanya selama satu tahun.

Tak heran, jika Ritual Bakar Tongkang ini setiap tahunnya dihadir para pejabat dan wisatan yang tidak hanya etnis Tionghao karena acara ini sudah menjadi ivent wisata di Riau. Bahkan menjadikan daerah ini sebagai tujuan wisata sampai ke luar negeri. Pada acara bakar tongkang tahun 2015 misalnya, juga dihadiri sejumlah pejabat, Plt Gubri, Ketua DPRD Riau, Bupati Rohil, Danrem 031/WB, Danlanal Dumai, serta undangan lainnya yang turut serta menyaksikan prosesi ritual ini.

Selain itu,Ia bakar tongkang juga merupakan ritual budaya yang harus dilestarikan. Pasalnya, dengan menjaga kelestarian tersebut, budaya bakar tongkang tidak akan punah dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang.

Seperti diketahui, hingga saat ini ritual ini tetap dilaksanakan setiap tahunnya dan masuk dalam kalender wisata Riau. Ritual ini merupakan kegiatan sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur masyarakat Tionghoa yang berdomisili di Kabupaten Rohil.

Dalam pandangan budayawan Riau Yusmar Yusuf, tradisi ini merupakan sesuatu yang biasa dan dalam masyarakat Melayu tradisi-tradisi semacam ini sudah sering dilakukan, hanya saja tradisi-tradisi yang digelar itu tidaklah sebesar ritual Bakar Tongkang ini. “Ini tradisi biasa. Biasanya orang yang sedang dalam pelayaran dan apalah lagi namanya, bila ia menetap pada suatu tempat pastilah semuanya akan di bakar atau dibuang, ini dilakukan untuk menghindari dan melupakan daerah asalnya dahulu,” ujarnya.

Hal ini pula terjadi pada kaum Fatimiah di Mesir 1.000 tahun lalu. Kaum ini dikejar-kejar oleh Bani Umayah, mereka lari dan bersembunyi di gua-gua. Untuk menghindari agar mereka tidak dikejar segala peralatan yang dimiliki mereka bakar.

“Kita tidak tahu apakah kedatangan masyarakat Tionghoa pada ketika itu karena adanya konflik di negerinya atau karena lain. Yang jelas kita, bila sampai pada satu tanah harapan akan melakukan pemusnahan barang-barang yang terkait dengan tanah sebelumnya,” ujarnya.

Kaum Fatimiah ini, menurut Yusmar lagi, adalah kaum yang terpelajar dan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi, ini dibuktikan dengan mereka mendirikan Universitas Al Azhar di Kairo Mesir. “Kaum Fatimiah ini adalah kaum terpelajar dan memiliki ilmu pengetahuan yang cukup tinggi. Universitas Al Azhar itu kaum ini yang mendirikan,’’ tuturnya.

Sejarah pernah mencatat, Kota yang berada di barat daya Riau itu pernah mengalami masa jaya sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, kejayaan perikanan di Bagansiapiapi lambat laun meredup.

Sumber :

https://www.inews.id/daerah/regional/tradisi-bakar-tongkang-50000-warga-tionghoa-asal-bagansiapiapi-pulang-kampung/572793

http://spektakel.id/detail.php?id=774

 

Tags :