Ronggeng Gunung Tarian Kepedihan Eksotis Penyambut Panen (part II)

Ronggeng Gunung Tarian Kepedihan Eksotis Penyambut Panen (part II)

8 Nov 2018   |   By Franco Londah   |   3165 Views

PERKEMBANGAN

Perkembangan Ronggeng Gunung pada periode tahun 1904 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman. Bahkan, cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana (biasanya) penari laki-laki tidak saja bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba dan sebagainya. Bahkan, kadang-kadang fenomena penari dapat dibawa ke "tempat sepi".

Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung sempat dilarang dipertunjukkan untuk umum. Barulah pada tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat terhindarkan.

Pencegahan atas munculnya pandangan negatif terhadap jenis tari yang nyaris punah ini diterapkan pada peraturan-peraturan. Bunyinya kurang lebih melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung.

Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki.

Adegan lain yang masih bertahan hingga sekarang adalah selingan mempertunjukkan perkelahian, mula-mulanya merupakan adegan memperebutkan penari ronggeng. Dalam pertunjukkan ini biasanya tampil para pesilat-pesilat dari padepokan sekitar. Dengan demikian selingan ini menjadi ajang mengukur keterampilan dalam menguasai seni bela diri, tanpa meninggalkan aturan permainan silat dan mengenyampingkan tari Ronggeng Gunung itu sendiri.

Persebaran Ronggeng Gunung

Desa-desa di Ciamis selatan yang memiliki kesenian ronggeng gunung adalah desa Panyutran, Ciparakan, Burujul dan menyebar ke arah selatan, yaitu di Kawedanaan Pangandaran sampai ke Kecamatan Cijulang. Dalam beberapa generasi ronggeng gunung mampu mempertahankan ciri-ciri khas yang dimiliki.

Namun demikian ditemukan pula tarian dalam bentuk yang hampir sama di daerah lain seperti banjet di Krawang, dombret di Subang. Perbedaan masih tetap nyata. Jika banjet dan dombret sudah banyak mempergunakan lagu-lagu populer, ronggeng gunung tetap mempergunakan lagu-lagu yang bersifat buhun (lama). Dombret dan banjet sudah banyak dipengaruhi oleh budaya dari luar Sunda, seperti Jawa, Bugis Makasar, Lampung dan juga Madura melalui pergaulan antara para nelayan.

Seperti tari-tari tradisional lain sejenisnya, ronggeng gunung juga merupakan tari hiburan dan pakaian yang dikenakan sesuai dengan tradisi setempat. Segi unik lain yang tak kalah menarik adalah saat pertunjukan berlangsung, yaitu dengan sering tampilnya para penonton untuk menemani penari ronggeng menari. Sering tingkah dari “penari penonton” ini membuat geli orang-orang yang menyaksikan, sehingga suasana pun berubah menjadi riuh, berubumbu humor dan bergembira.

Suasana yang ditampilkan tersebut menunjukkan ciri khas suatu kesenian rakyat, yaitu akrab dimana penari dan penonton berbaur tanpa batas yang jelas.

Sejarah mencatat, pada masa pemberontakan DI/TII berkecamuk di Jawa Barat, kesenian ronggeng gunung hampir-hampir lenyap karena seringnya terjadi gangguan terhadap pertunjukan saat sedang berlangsung. Setelah gerombolan DI/TII ditumpas, pertunjukan ronggeng gunung yang digemari oleh masyarakat itu pun muncul kembali.

 

Alat Sosialisasi Pemerintah

Umumnya kesenian ronggeng dihelat untuk kepentingan suatu perayaan, misalnya pesta perkawinan, khitanan, penghormatan terhadap tamu dan sebagainya. Disamping itu tidak jarang pula kesenian ronggeng dipanggil untuk memenuhi pernyataan kaulnya.

Sekarang dalam berbagai acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah, dapat pula ronggeng dipergunakan sebagai alat sosialisassi yang efektif. Ronggeng gunung dapat digunakan untuk mengumpulkan penduduk. Setelah penduduk berkumpul maka kesempatan ini “dipergunakan untuk menyampaikan sesuatu yang penting diketahui oleh masyarakat. Misalnya soal keluarga berencana, penyuluhan pertanian dan sebagainya.

Pementasan ronggeng gunung hingga saat ini tetap merupakan kesenian yang digemari oleh penduduk. Apabila kesenian rakyat ini ditampilkan, dapat dipastikan tempat yang sebelumnya sunyi sepi akan berubah menjadi ramai, seakan-akan suatu pasar malam. Meskipun pementasan dilakukan agak malam penonton telah datang sejak sore saat matahari mulai tenggelam. Pendek kata desa yang sunyi sepi akan berubah menjadi meriah dan menggembirakan.

Bila ayam jantan telah berkokok tanda menjelang pagi, barulah satu persatu mereka mengundurkan diri dari tempat keramaian. Mereka telah menikmati kegembiraan semalam suntuk. Umumnya kesan mendalam akan merasuk ke hati sanubarinya. Setelah bekerja keras sepanjang hari mereka pantas memperoleh hiburan yang mampu meningkatkan gairah hidup. Dengan demikian keseimbangan hidup pun terjaga.

FOTO/steemit.com

FOTO DARI JELAJAHKAMPUNG.COM

dari berbagai Narasumber

 

 

Tags :