Ronggeng Gunung Tarian Kepedihan Eksotis Penyambut Panen (part I)

Ronggeng Gunung Tarian Kepedihan Eksotis Penyambut Panen (part I)

6 Nov 2018   |   By Franco Londah   |   2817 Views

Coklatkita.com - Ronggeng Gunung adalah sebuah kesenian tari yang tumbuh dan berkembang di wilayah Ciamis Selatan dan Pangandaran seperti daerah Panyutran, Ciparakan, Banjarsari, Burujul, Pangandaran dan Cijulang.

Hal yang membedakan adalah aura kesakralan yang melatar belakangi terciptanya kesenian ini. Konon, ia tercipta dari kepedihan hati dari seorang putri raja yang kehilangan suami yang amat dicintainya serta upayanya untuk balas dendam kepada sang pembunuh.

Secara umum, kesenian ini hampir sama dengan ronggeng pada umumnya.  Dicirikan dengan penampilan satu orang atau lebih, para penari dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring.

Penari utamanya seorang perempuan yang dilengkapi dengan sebuah selendang yang fungsi nya sebagai kelengkapan utama dalam menari. Selendang ini akan digunakan untuk mengajak lawan (laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.

ASAL-USUL RONGGENG GUNUNG

Ada bermacam versi yang berkembang di masyarakat tentang asal muasal Ronggeng Gunung. Versi yang pertama berasal dari Raden Sawunggaling, konon ketika itu kerajaan Galuh dalam suasana kacau akibat serangan dari musuh sehingga memaksa raja untuk bersembunyi ke tempat yang lebih aman. Dalam situasi tak tentu tersebut, Raden Sawunggaling datang dan berniat menyelamatkan raja.

Sebagai bentuk apresiasi, Raja Galuh lalu menikahkan Raden Sawunggaling dengan putrinya. Saat Raden Sawunggaling naik tahta dan menggantikan peran sang mertua menjadi raja, ia lalu menciptakan tarian khusus yang fungsinya untuk hiburan istana. Para penari yang dipilih harus luwes dan pandai menari, suara bagus dan paras cantik. Dengan klasifikasi tersebut, para penari ronggeng memiliki status terpandang di masyrakat kala itu.

Bersambung ke versi kedua yang berasal dari cerita rakyat, alkisah seorang puteri ditinggal mati oleh kekasihnya. Begitu bersedihnya ia, menangis dan meratapi kematian orang terkasih sedari siang sampai malam. Prihatin akan hal tersebut, beberapa pemuda datang menghibur. Mereka menari sambil mengelilingi sangputeri dengan selendang yang menutupi hidung para pemuda dikarenakan bau usuk dari mayat kekasih sang puteri. Lambat laun, sang puteri larut dalam tarian dan ikut menari sambil menyanyi menyayat hati bernada sedih. Adegan dalam kisah itu, menjadi letak dasar gerakan-gerakan pementasan ronggeng gunung saat ini.

Versi ketiga, dikisahkan tentang Dewi Samboja - puteri dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Anggalarang. Sang suami tewas dalam pertempuran melawan bajak laut yang dipimpin Kalasamudra. Dewi Samboja bersedih sekaligus marah dan menyimpan dendam kepada para bajak laut, sang Ayah Prabu Siliwangi mendengar hal tersebut dal menurunkan wangsit kepad putri yang sangat disayanginya. Isinya adalah, untuk membalas kematian Anggalarang, Dewi Samboja harus menyamar sebagai seorang penari ronggeng bernama Nini Bogem.

Dewi Samboja pun belajar menari ronggeng dan seni bela diri, sampai dirasa waktu yang dinanti tepat sang Dewi berkesempatan menari ronggeng di tempat Kalasamudra. Kalasamudra yang 'terbius' dengan keelokkan menari dan paras canti sang Dewi tidak mengetahui bahwa penari itu adalah Dewi Samboja. Kalasamudra yanglengah pun terbunuh, dan terbalaskanlah dendam sang Dewi.

Versi terakhir atau keempat dari bermacam versi tentang ronggeng gunung mirip dengan versi ketiga. Bercerita tentang Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, beristrikan Siti Samboja yang berkeras mendirikan sebuah kerajaan di Pananjung (kini menjadi Cagar Alam Pananjung).  Padahal sang ayah sudah memperingatkan bahaya di lokasi tersebut karena dekat dengan markas perompak.

Kekhawatiran Prabu Haur Kuning terbukti.  Kerajaan Pananjung diserang oleh para bajak laut yang dipimpin oleh Kalasamudra.  Dalam pertempuran yang tak seimbang, Raden Anggalarang tewas. Sedang sang istri berhasil menyelamatkan diri.

Dalam pelariannya yang penuh penderitaan, Siti Samboja berganti nama menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai penari ronggeng. Dealam hatinya, ia memendam kepedihan. Lalu berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Kepedihannya itu ia ungkapkan dalam sebuah kawih sedih:

Ka mana boboko suling

Teu kadeuleu-deuleu deui

Ka mana kabogoh kuring

Teu Kadeuleu datang deui

Rasa dendam kesumat yang menyertai, akhirnya membawanya ke tempat Kalasamudra.  Dengan menyamar sebagai ronggeng, Dewi Samboja akhirnya berhasil membunuh sang bajak laut yang tak waspada.

Dari cerita-cerita tersebut, dapat dibayangkan bahwa Ronggeng Gunung lahir dari sebuah kepedihan dan dendam. Konon, para pembantu Dewi Rengganis yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Ketika sang musuh tergoda dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan.

PENGANTAR UPACARA ADAT

Pada jaman dahulu selain sebagai seni hiburan fungsi Ronggeng Gunung digunakan sebagai alat pengantar upacara adat seperti panen raya, perkawinan, khitanan dan penerimaan tamu. Biasanya sebelum pertunjukkan dimulai, diadakan sebuah ritual dan pemberian sesajen agara pertunjukkan berjalan dengan lancar. Hal ini dilakukan oleh para tetua adat dengan bentuk sesajen yang terdiri dari kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir dan rokok.

Sebelum pertunjukan dimulai juga diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh yang ada di sekitar tempat tersebut, agar menjaga keselamatan para nayaga dan juga ronggeng. Bentuk sesajen ini terdiri dari kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.

Selain daripada kemistisan seni tari ini, Penggambaran Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir mirip dengan Dewi Sri Pohaci dalam mitologi Sunda yang berkaitan dengan kegiatan bertani mayoritas masyrakat nya.  Maka dri itu, tarian Ronggeng Gunung menjadi perlambang kegiatan sang Dewi dalam dalam bercocok tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran setelah panen.

PEMAIN, PERALATAN, DAN PERGELARAN

Para pemain yang tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi tukar menukar atau meminjam pemain dari kelompok kesenian lain. Peminjaman pemain ini terjadi untuk memperoleh pesinden lulugu, yakni perempuan lanjut usia tetapi memiliki kemampuan yang mengagumkan dalam dal me-nyinden atau tarik suara. Ia akan bertugas membawakan lagu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan peralatan musik yaang digunakan untuk mengiringi Ronggeng Gunung terdiri dari intrumen tradisional ketuk, gong dan kendang.

Dahulu kala, tidaklah muda menjadi seorang ronggeng. Ia wajib melalui proses panjang rumit sekaligus melelahkan. Seorang ronggeng gunung haruslah wanita pinilih yang mampu melewati berbagai tahapan latihan berat dan lelaku khusus yang telah ditentukan oleh gurunya. Sang calon ronggeng harus tinggal dirumah sang guru selama 3 bulan. Setiap malam ia kan diajari tembang dan teknik menari. Dalam proses tersebut si murid harus memiliki daya ingeta yang kuat dikarenakan sang guru tidak akan mengulang pelajaran sampai tiga hari setelahnya.

Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah. Dan yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.

Untuk bagian melatih suara, biasanya lubang hidung sampai kerongkonan “digera” (dimasuki) oleh akar antanan. Sedangakan untuk melatih teknik nafas harus merendamkan kepala dalam curug sungai di tujuh tempat berbeda dan penguasaan mantra atau doa tertentu yang dinamakan uluk-uluk. Dengan menguasai teknik-teknik tersebut, maka seorang Ronggeng akan memiliki suara keras dan nyaring. Kekuatan suara memang menjadi modal utama seorang Ronggeng Gunung sebab kesenian ini digelar tanpa menggunakan bantuan sound system.

Tari Ronggeng Gunung biasa digelar di halaman rumah saat acara perkawinan, khitanan atau di huma (ladang) misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Untuk durasi berapa lama sebuah pementasan Ronggeng Gunung berlangsung, biasanya memakan waktu cukup lama, hingga kadang-kadang baru selesai menjelang subuh tiba.

Agar penampilan mereka tetap baik saat menari, maka setiap pementasan biaanya disediakan tempat istirahat. Selai daripada waktu pentas yang berlangsung cukup lama............................

bersambung ke bagian dua.

dari berbagai Narasumber

 

Tags :