COKLATKITA.COM - Sobat Coklat pernah menonton film dokumeneter BBC, Blue Planet 2?
Di balik pembuatan film, orang-orang yang terlibat mengungkapkan bagaimana memereka selalu melihat sampah plastik mengapung di lautan selama pengambilan gambar. Salah satu episode menampilkan kura-kura jenis penyu sisik terjerat kantong plastik dan berhasil dilepaskan salah satu juru kamera. Kesejahteraan ekosistem benar-benar terancam.
Kita semua tahu, pencemaran lingkungan alibat populasi sampah kian hari semakin mengkhawtirkan. Plastik juga menjadi ancaman pelestarian seluruh populasi. Mulai dari daratan, pegunungan. samudera hingga fenomena baru-baru ini juga memperlihatkan sebuah objek diduga plastik terbang di atmosfer bumi. Plastik yang awalnya sebuah solusi kini berbalik menjadi bencana. Paling mengkhawatirkan lagi ditemukannya partikel plastic kecil atau mikroplastik yang jauh lebih berbahaya. Tidak hanya bagi para ahli biologi, situasi seperti ini sangat mengkhawatirkan dan menyedihkan bagi kita semua makhluk hidup yang menjadi bagian dari ekosistem..
Masih segar dalam ingatan, Menambah daftar panjang kasus kematian biota dan terganggunya ekologi laut akibat pencemaran lingkungan tempat habitat mereka tinggal; terjadi di peraian Pulau/Desa Kapota, Kecamatan Wangiwangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada hari Senin 19/11/2018 silam di mana paus sperma sepanjang 9,5 meter ditemukan mati dan menelan hampir enam kilogram plastik dan sandal jepit.
Dalam sebuah cuitan, lembaga WWF Indonesia merinci apa saja yang ditemukan di dalam perut bangkai hewan tersebut.
"5,9 kg sampah plastik ditemukan di dlm perut paus malang ini! Sampah plastik yaitu: plastik keras (19 pcs, 140 gr), botol plastik (4 pcs, 150 gr), kantong plastik (25 pcs, 260 gr), sandal jepit (2 pcs, 270 gr), didominasi o/ tali rafia (3,26 kg) & gelas plastik (115 pcs, 750 gr)."
Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar sampah tadi telah berubah warna. Hal ini menandakan bahwa sampah-sampah tersebut sudah berada di dalam tubuh paus ini dan mengendap dalam waktu yang lama.
Temuan bangkai paus sepanjang 9,5 meter ini menimbulkan keprihatinan para aktivis lingkungan.
Indonesia sendiri menduduki posisi kedua lima negara di Asia—Cina, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand— kelima negara Asia ini menghasilkan 60% limbah plastik di lautan, menurut laporan tahun 2015 yang disusun lembaga Ocean Conservancy and the McKinsey Center for Business and Environment.
PBB ikut bersuara, menyatakan kehidupan biota laut menghadapi “kerusakan yang tak bisa diperbaiki” akibat dari sekitar 10 juta limbah plastic yang dibuang ke laut setiap tahunnya.
Sebagai catatan, Paus sperma merupakan salah satu jenis paus karnivora. Paus sperma (Physeter macrocephalus) dapat tumbuh hingga 20,5 meter--membuat mereka menjadi yang terbesar di antara paus bergigi. Menurut Red List IUCN, spesies ini masuk ke dalam daftar hewan terancam punah.
Berdasarkan tulisan dari laman Whalefacts.org, dalam satu hari setidaknya mereka dapat melahap hingga 1 ton cumi-cumi raksasa dan ikan-ikan yang ada di perairan dalam.
Secara tidak sengaja dikonsumsinya limbah sampah oleh paus dan biota laut yang lainnya, yang berada di perairan dalam kemungkinan besar memang terjadi. Mengingat sampah juga ditemukan di dalam perairan terdalam di dunia, Palung Mariana. Tidak hanya itu, ikan-ikan dan hewan laut lainnya yang menjadi makanan manusia juga mengonsumsi mikro plastik. Kemudian kita memakannya. Kita pun menjadi bagian terdampak oleh limbah plastic ini.
Fakta lain, seperti penelitian terhadap makhluk paling dalam di lautan; ampipoda yang digagas Royal Society Open, dalam publikasi jurnalnya sekelompok tim peneliti dari Newcastle University di Inggris mengirimkan robot ke enam palung hadopelagik: Jepang, Izu-Bonin, Peru-Cile, New Hebrides, Kermadec dan Kedalaman Challenger Mariana. Robot ini dikirim tidak hanya untuk memonitor kondisi bawah laut, tetapi juga mengambil sampel kehidupan yang berada di sana. Secara total, para peneliti berhasil mengumpulkan 90 amphipoda, sejenis makhluk lautan kecil.
Hasilnya sangat menyedihkan. Plastik ditemukan dalam pencernaan 72 persen ampipoda. Lalu, semakin dalam di lautan mereka berada, semakin banyak plastik yang mereka telan. Dari Palung New Hebrides, misalnya. Plastik “hanya” ditemukan pada 50 persen ampipoda. Namun, semua ampipoda yang hidup di Kedalaman Challenger (sekitar 10.890 meter) ditemukan telah memakan plastik. Para peneliti menduga bahwa hal ini terjadi karena sifat dari palung itu sendiri. Peneliti kelautan Alan Jamieson dari Newscastle University pernah berkata pada 2017, ketika dia pertama kali mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa akhir perjalanan dari sampah plastik adalah laut dalam.
Jika Anda mengontaminasi sungai, sampahnya bisa dialirkan hingga bersih. Jika Anda mengontaminasi pesisir, sampahnya bisa disingkirkan oleh ombak. Tapi di laut terdalam, sampah diam saja. (Laut terdalam) tidak bisa membersihkan dirinya, dan tidak ada hewan yang keluar atau masuk ke palung-palung ini,” ujarnya. Jamieson pun berkata bahwa studi yang dilakukannya telah membuktikan bahwa mikrofiber buatan manusia sedang berakumulasi di ekosistem yang belum kita pahami dengan baik. “Pengamatan ini adalah rekor terdalam adanya mikroplastik yang dimakan, (ini) menunjukkan bahwa kemungkinan besar tidak ada lagi ekosistem kelautan yang belum terdampak oleh sampah antropogenik,” katanya.
Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah yang paling berdosa atas semua kejadian yang terjadi?
Jawabannya, manusia.