coklatkita.com - Green living, saat ini mulai menjadi pilihan alternatif banyak orang yang mulai menyadari pentingnya menjaga lingkungan. Tren yang digandrungi baik tua maupun muda, gaya hidup ini menjunjung tinggi kesadaran dan sangat memperhatikan kelestarian lingkungan di sekitarnya.
Tujuannya, tidak hanya berkeinginan agar taraf hidup mereka jauh lebih sehat, akan tetapi sebagai makhluk hidup yang tinggal di planet bumi – mereka ingin menjaga keseimbangan alam agar tetap terawat dengan baik, atau setidaknya menjaga agar tidak semakin rusak. Memilih untuk hidup minim sampah saja dirasa kurang cukup. Sehingga sebagian besar dari mereka ingin lebih bertanggung jawab dengan menggunakan produk atau material yang lebih ramah lingkungan.
Berbicara tentang ramah lingkungan, pusat peradaban di Jawa Barat - Kota Bandung memiliki pengembangan terkini yang bergerak di bidang ilmu; bioteknologi bernama Mycotech. Berkata kegigihan, perjalanan, dan penelitian yang menyita waktu, Mycotech berhasil membuat material berbahan jamur dan limbah pertanian. Idenya sendiri bermula dari para pendirinya yang sebelumnya bernaung pada sebuah media yang menggagas tanam jamur dengan kemasan unik; Growbox.
Mula-mulanya di tahun 2014 silam, jamur diteliti untuk diangkat ke level berikutnya, yaitu sebagai alternatif material berbasis ramah lingkungan. Penelitiannya sendiri dilakukan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Serpong, Tangerang. Lalu tak lama berselang, pengembangan dilakukan bekerja sama dengan Future Cities Laboratory National University of Singapore (NUS).
Dilansir dari laman pikiranrakyat.com, "Kalau material menggunakan kayu, perlu waktu yang lama mulai dari kayu ditanam sampai bisa digunakan. Paling cepat empat atau lima tahun, kalau kayu jati lebih lama lagi," kata CEO Mycotech Robbi Zidna Ilman ditemui di Mycotech Eco Factory yang berlokasi di Desa Cipda, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Riset pada tahun 2014 kemudian berbuah positif dengan ditemukannya Biobo. Biobo merupakan panel dekoratif yang berbahan dasar dari limbah pertanian dan jamur. Sistem kerjanya seperti membuat tempe yang berbahan dasar kedelai. Perbedaannya terletak pada bahan, dimana penggunaan kedelai yang direkatkan oleh miselum (mycelium) jamur, digantikan oleh penggunaan limbah pertanian. Limbah ini mengandung selulosa, misalnya serbuk kayu, limbah kelapa sawit dan ampas tebu. Proses pembuatan Biobo diawali dengan pembuatan baglog atau media jamur yang sudah dipenuhi dengan miselium. Perlu waktu satu bulan sampai baglog siap dipanen. Setelah itu, baglog diproses sehingga dapat dicetak menjadi panel siap guna. Disesuaikan dengan kebutuhan tertentu, juga dilakukan pelapisan. Proses ini memakan waktu sekitar dua minggu lamanya.
Dipilihnya limbah pertanian juga tanpa alasan. Berdasarkan data, setiap tahun di Indonesia mampu menghasilkan 120 juta ton limbah pertanian. Angka yang melimpah ini hanya 20 persen saja yang dimanfaatkan, menjadi biomassa atau barang-barang kerajinan.
Selain itu, proses ini dirasa lebih cepat ketimbang menggunakan kayu yang dapat memakan waktu lama sampai bertahun-tahun. Biobo hanya perlu waktu setengah bulan saja.
Serbuk hasil limbah pertanian memiliki corak tersendiri. Warna natural dan ciri khas yang dihasilkan dari pada limbah, memberi kesan dan motif yang unik.
Terhitung setiap bulannya, Mycotech bisa menghasilkan 6.000 sampai 9.000 baglog. Selain budidaya sendiri, Mycotech juga mengajak serta para petani jamur di Cisuara untuk ambil bagian.
Biobo telah diuji kekuatannya, sehingga kualitasnya terjaga. Biobo dapat digunakan sebagai pelapis dinding, membuat meja dan interior lainnya. Biobo pada perkembangannya, sudah diuji coba sebagai struktur bangunan bersama dengan Future Cities Laboratory NUS dan berhasil menciptakan kolaborasi membuat struktur bangunan pertama yang menggunakan jamur; Myco Tree. Instalasi menyerupai cabang pada pohon ini dipamerkan di Seoul Biennale of Architecture and Urbanism 2017. Sedangkan di dalam negeri, Batam dan Bali menjadi pasar utama pengguna Biobo.
Mycotech terus mengembangkan penelitian uniknya guna menghasilkan produk ramah lingkungan dalam negeri. Produk terkininya, Mylea. Masih menggunakan jamur dan limbah pertanian, Mylea secara fisik berupa lembaran layaknya kulit mirip material tekstil. Kulit pada umumnya menjadi material utama dan sangat digemari jenama-jemana fashion dunia. Pakaian, sepatu hingga aksesori banyak menggunakan kulit sebagai bahan dasar utamanya. Namun, yang perlu digarisbawahi, proses pewarnaan kulit masih belum aman bagi lingkungan dan Mylea hadir menjadi opsi material yang lebih aman bagi lingkungan. Tentu saja setelah melalui proses penyempurnaan.
Penggunaan pewarna alami, seperti kulit kayu, dedaunan, indigo menjadi keunggulan Mylea. Jika dibandingkan dengan kulit imitasi, Mylea jelas lebih kuat.
Mylea tercatat pernah berkolaborasi dengan brand lokal untuk dipakaikan pada jam tangan, sepatu, sampul buku dan lainnya. Produsen jam tangan Pala Nusantara berkolaborasi dengan Mycotech dan melahirkan; Palamylea. Tak tanggung-tanggung, kolaborasi ini menyabet gelar GDI Best di ajang Good Design Indonesia 2019.
Tidak hanya skala domestik saja. Jenama sepatu legendaris asal Inggris, Clark dikatakan sudah menaruh minat menggunakan Mylea.
Robbi menambahkan, permintaan datang memang banyak dari luar seperti Amerika dan Eropa. Hal ini terkait dengan sebagian besar warganya yang sudah sadar akan pentingnya gaya hidup ramah lingkungan. Termasuk, penggunaan produk yang tidak merusak lingkungan. Tentu saja hal ini menjadi prospek bagus bagi produk ramah lingkungan yang dibuat Mycotech.
Kini Mycotech tengah sibuk memproduksi pesanan yang didapat dari Kickstarter, sebuah crowdfunding platform terkemuka di dunia. Lewat pendanaan bersama ini, Mycotech berhasil mengumpulkan dana lebih dari 26.000 dolar Amerika Serikat. Lewat platform ini pula, produk ramah lingkungan buatan Indonesia tersebar ke berbagai negara.
Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-01318443/material-ramah-lingkungan-berbahan-jamur?page=3
Website Mycotech: Mycelium www.mycote.ch